#3 Bab1

Anak Sekolah Bergaya Retro


Sinar matahari menyambut hariku, seorang anak sekolah bergaya retro, dengan rambut berminyak dinaikkan sedikit keatas, berkalungkan kain gantungan handphone, tak ketinggalan kacamata pelindung sinar matahari pun dipakainya. Kupanaskan motor supra kesayanganku dengan sedikit tempelan penguin pada bagian depannya, ku eratkan helm hitam half-face dengan tambahan plastik bening pelindung debu, tak ketinggalan masker hijau dokter sebagai pengingat harapan-harapanku untuk menjadi seorang dokter hebat. Doa restu orang tua berlapis uang sangu tak pernah lupa aku kantongi, kini ku siap untuk menjadi apa yang ku mau hari ini, dan menjadi apa yang aku inginkan kelak.


Kususuri jalan-jalan sempit bagian utara kota Surabaya sambil otakku memutar kembali kata-kata orang hebat yang pernah kubaca ataupun kudengar dari media apapun demi menjadi motivasiku hari ini. Ketika otak kanan bekerja keras mengumpulkan segala daya kereativitas yang kumiliki untuk menyusun kata-kata, otak kiri ku pun tak pernah jenuh untuk menuruti apa kata majikannya untuk mengulang beberapa hafalan system syaraf serta anatomi-anatomi padah tubuh manusia, hewan, tumbuhan, dan juga anatomi pemerintahan. Sementara tangan, kaki, otak, bekerja semua rupa-rupanya mataku tak ingin hanya disuruh memperhatikan jalanan saja, ia meminta untuk mengamati keadaan sosial yang terjadi di kota ini, bagaimana para manusia saling berinteraksi satu sama lain, bagaimana mahluk bernama latin Homo Sapiens ini saling mengadakan pengendalian sosial dan sebagainya.


Keluar dari kesibukan aktivitas di gang-gang kecil ini, kini dihadapanku disuguhkan suatu hiruk pikuk kota Surabaya dengan berbagai macam masalah lalu lintas yang terjadi. Orang lain mungkin berpikir “Apa-apaan ini”, suatu pertanyaan yang hanya dilandasi oleh emosi, dan ketergantungan orang lain untuk menjawabnya, namun yang ada dipikiranku adalah “Bagaimana ini”, pertanyaan yang menekan otak untuk menyelesaikan suatu masalah. Itulah perbedaan yang membedakan antara aku, dan orang lain.


Dari kecil tinggal di kota ini, entah itu yang membuatku fanatik akan kota di pelosok jawa timur ini ataukah ada hal lain yang membuatnya begitu. Hafal daerah hingga sejarah tiap daerah di kota Surabaya, orang lain mungkin kagum dengan semua itu, tapi aku menganggap hal itu biasa, terlalu naïf seorang anak Surabaya jika ia tidak mengenal kotanya sendiri.


Perjalanan singkat dari rumah ke sekolah selesai, perjalanan “cuma lima menit” yang dikatakan orang-orang, berbeda dengan perjalanan “lima menit”ku, bagiku lima menit adalah waktu yang cukup lama jika seseorang mau mengambil semua pelajaran yang ada diperjalanannya. Kumasuki gerbang tinggi sebagai batas teritorial sebuah gedung pendidikan tua yang menjadi salah satu cagar budaya kota ini. Kualihkan setir motorku ke kanan menuju area parkir motor, kumatikan mesin dan ku taruh helm hitamku di bagian ujung sadel, masker ku masukkan di dalam helm itu, akupun bergegas menuju kelas yang terletak di ujung sekolah bagian atas.


Kubuka pintu kelasku, salam tak lupa aku ucapkan. Rupanya disana sudah ada beberapa teman sedang berbincang-bincang dengan ceritanya masing-masing. Kuhampiri sebuah meja deretan belakang sebagai singgasanaku hari ini, kuletakkan kumpulan kotak ilmu ku disana, dan bergabunglah aku kedalam salah satu kelompok cerita tersebut. Topik pagi hari kelas ini bermacam-macam, beberapa dari mereka kadang menceritakan betapa spektakulernya gol-gol yang terjadi kemarin malam, ada yang berdiskusi masalah kepanitiaan yang sedang mereka jalani, ada yang membahas kumpulan soal yang nanti mungkin akan dikeluarkan dalam ujian, dan ada juga yang nyanyi-nyanyi tidak karuan dengan berbagai macam goyangannya didepan kelas.


Itulah rutinitasku di pagi hari, penuh akan semangat, doa, harapan, dan juga keceriaan. Inilah cerita yang akan kuceritakan padamu nanti, cerita dari seorang anak sekolah bergaya retro ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

#2 Bab5

Tresna Marga Kulina

Sekolah, kuliah, bekerja, berkeluarga. Inilah yang menjadi pedoman hidup tiap insan di muka bumi ini tak terkecuali aku. Kini aku yang sudah semester akhir di kuliah sudah siap untuk bekerja dan mencari pendamping tentunya.

Keluar dengan nilai yang baik menjadi modal untukku, apalagi ditunjang dengan skill PR (Public Relation) yang memang sudah aku asah sejak kecil dengan membantu ibu di toko. Sekarang, aku hanya perlu mencari suatu perusahaan yang memiliki prospek yang bagus untuk karirku. Kunyalakan ponsel, hanya dengan mengetikkan nama perusahaan, kini aku mendapatkan beribu nama perusahaan di genggamanku, betapa praktisnya kawan. Aku meneliti setiap kata yang dituliskan pada tiap-tiap web, mencari tahu tentang apa yang dibutuhkan pada tiap-tiap perusahaan, dan akhirnya aku dapat menyimpulkan suatu hal-kini, tiap perusahaan menginginkan pegawainya dapat berbahasa Inggris. Di jaman seperti ini, mampu bahasa Inggris memanglah bukan hal yang spesial untuk mencari kerja, karena itu aku yang belum bisa berbahasa Inggris dengan cukup lancar mencari jalan lain untuk mencari pekerjaan-bahasa asing kedua. Bahasa asing kedua, inilah salah satu hal yang dapat memutar otak berkali-kali bagi tim penyeleksi pegawai walau orang yang ia seleksi mendapatkan nilai yang tidak cukup bagus untuk bekerja. Inilah yang aku targetkan, apalagi ditambah dengan kemampuan khusus serta nilai akhirku yang memuaskan, bisa dibilang tak ada perusahaan yang akan menolakku nantinya.

Memiliki darah tionghoa, pernah belajar bahasa mandarin saat SMA, ahli dalam bidang marketing. Melihat dari beberapa latar belakangku, kurasa tak ada hal yang tidak mendukungku untuk belajar bahasa para pemimpin pasaran, bahasa mandarin. Aku pun segera mencari tempat les mandarin murah yang terdekat dari rumahku demi menghemat uang. Program intensif aku ambil agar aku dapat segera bekerja.

Hanya berselang dua bulan dari les itu, aku sudah bisa berbahasa mandarin dengan cukup lancar, walaupun sedikit kikuk dalam berbicara, kini aku telah siap utuk melamar pekerjaan. Seperti yang aku perkirakan sebelumnya, sebuah perusahaan gadget ternama menerimaku tanpa syarat sebagai bagian tim uji kualitas produk sekaligus seba. Walau begitu, beberapa percobaan kerja bagi pegawai baru tetap harus ku jalani, tapi memang beruntungnya diriku, aku lulus dalam percobaan itu.

Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja-itulah yang pertama kali ku lakukan saat aku diterima di perusahaan ini. Berkenalan dengan kerja juga termasuk dalam fase itu, dan memang pegawai disini orangnya sangat ramah, namun ada satu orang yang menjadi perhatianku selama disini, orang itu sangatlah giat, ia selalu datang pertama dan pulang terakhir, selalu berada di ruangannya untuk mengerjakan tugasnya, tak pernah keluar saat makan siang, ia tetap berada di ruangannya bekerja sambil sesekali memasukkan sendok berisi makanan bekal ibunda kesayangannya.

Tak ingin terus-terusan berada dalam rasa penasaran aku berusaha memberanikan diri masuk ke dalam ruang kerja orang itu. Rasa penasaranku berubah menjadi rasa kaget setelah berada di ruangan itu, tidak disangka, dan tidak dikira, rupanya ia adalah teman SMA ku yang dulu sangat kubenci, dan kini ia menjadi teman kerjaku, bahkan bisa dibilang atasanku. Pikirku pun melayang mengingat bagaimana rupa anak itu saat ia masih SMA, begitu polos dan innocent, tapi kini ia dengan kulit putih mulus, tinggi, berisi, dan dengan rambut yang trendy, benar-benar memutar balikkan dengan kata-kata yang sering kuucapkan untuk menyindirnya. Sekarang dia benar-benar beda, dan aku benar-benar salut akan dirinya.

Tresna marga kulina” itu yang sering dikatakan orang jawa kepada seseorang yang cint karena sering bertemu, entah hal itu berlaku padaku atau tidak aku tidak tahu, yang jelas kini dia benar-benar begitu hebat dimataku.

Lima tahun berlalu sejak aku bertemu dengan orang hebat itu, kini ia adalah suamiku setelah ia berubah haluan hidup. Kamipun dikaruniai dua orang anak laki yang sangat mirip dengan bapak dan ibunya.


#2 Illuminati stories. Annisa Mulia Sabrina.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

#2 Bab4

Masa SMA

Kurang berhasilnya dalam masa peralihan SD ke SMP memang sempat beberapa kali menjadi momok untukku, tapi sekali lagi ibuku, orang yang sempat aku buat kecewa, selalu memberikan aku motivasi serta semangat-semangat padaku, dan setelah memperbaiki diri pada tiga tahun masa SMPku, kini aku menyelesaikan ujian akhir dengan sangat sukses, dan diterimalah aku di salah satu SMA negeri favorit di sekolah ini, walaupun aku sempat merasa gagal di kesempatan sebelumnya. Tetapi ada sedikit kebanggaan dalam hidupku, sebagai seorang anak, uang hasil lombaku yang menjadi modal usaha ibuku kini sangat bermanfaat. Dengan uang itu kini ibuku dapat memiliki kios sendiri yang bisa dibilang besar, dan keadaan ekonomi keluargaku pun berangsur-angsur membaik.

“Masa SMA adalah masa yang paling indah”, mungkin hal ini sudah tidak asing lagi di telinga kita, yah al ini memang benar, dan aku sudah membuktikannya berkali-kali. Mungkin sebenarnya hal yang aku rasakan bukan cinta yang sebenarnya. Kagum, mungkin kata ini lebih tepat. Diawali dari seseorang yang aku kagumi semenjak aku berada di SMP, hingga aku berada di tahun pertama SMA ini, namun hal ini kandas ditengah jalan. Selanjutnya aku mulai beralih level, kini aku lebih mengagumi guru-guru, dari guru fisika yang berkharisma, hingga guru olahraga yang sudah cukup umur pun tak lewat aku kagumi, memang bagiku semua lelaki memiliki kharisma masing-masing yang tak dimiliki oleh mahluk laki-laki lainnya.

Sudah cukup berkelana di pesona kehidupan pria dewasa, kini aku kembali pada yang sewajarnya, cowok remaja. SMA ini sebenarnya aku memiliki seseorang yang sangat special, dia adalah cowok yang bisa dibilang memang tipeku. Lebih baik kita beralih topik ya kawan, setahun menceritakan dirinya pun mungkin takkan cukup untukku (untuk lebih lanjut baca di konten 16 tahun keatas).

Kawan, di SMA ini aku mendapatkan banyak hal. Mimpi, itulah kunci teman-temanku disini. Mereka memiliki banyak sekali mimpi di angan mereka, dan inilah yang aku pelajari disini. Hal kedua yang aku pahami disini adalah persahabatan. Aku yang di SMA ini tak memiliki kawan lama, bahkan sudah pesimis tidak mendapatkan teman, memang aku yang sekarang tidak lagi seperti aku yang dulu lagi, saat ini mentalku sudah tidak stabil lagi. Namun disini banyak sekali kawan-kawan yang siap mengangkat saat aku jatuh, disini mereka hidup dengan berdampingan, sangat berbeda jika dibandingkan dengan sekolah lain.

Masa SMA memang terlalu singkat jika kita benar-benar menikmatinya. Tak terasa waktu berjalan begitu kencangnya. Kini aku sudah menjadi salah satu alumni almamater tersebut. Seluruh temanku lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, mereka masuk di jurusan-jurusan yang mereka inginkan, mulai dari tehnik, hingga hukum. Begitu pun aku, akhirnya aku dapat masuk di salah satu jurusan tehnik di institute ternama di kota ini. Inginku masuk di institute terbaik di negeri ini yang terletak di bagian barat pulau tempat aku tinggal, namun kodrat perempuan yang tak bisa aku lawan. Aku harus tetap berada di kota ini untuk tetap membantu ibuku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

#2 Bab3

New Life

Berselang dari kemenangan besar itu kehidupanku berubah. Dari perlombaan itu, aku mendapatkan hadiah beasiswa sampai tamat pendidikan dasarku, serta hadiah uang tunai sebesar satu juta rupiah, nominal ini sangatlah langka pada saat masa-masa krisis saat itu.

Kini, berbekal beasiswa sekolah itu, aku dipindahkan oleh ibuku ke salah satu SD swasta yang tetap berada di kota ini dengan harapan pendidikan yang aku nikmati dapat menjadi lebih baik. Sebagian orang memang menganggap apa yang dilakukan ibuku itu tidak mengenal rasa terima kasih. Mereka berpendapat aku dan ibuku bagai kacang lupa kulit, melupakan sekolah yang sudah membuatku hebat sampai seperti ini selama empat tahun, dan begitu mendapatkan hadiah beasiswa aku begitu saja melupakan sekolah lamaku dan pindah ke sekolah lain. Tapi, aku tak peduli apapun yang mereka katakana, aku juga tak berpendapat bahwa apa yang dilakukan ibuku ini aji mumpung. Bukan, satu-satu yang kupikirkan tentang apa yang dilakukan ibuku ini adalah bukti betapa seorang ibu menginginkan hal yang terbaik untuk anaknya. Hadiah tunai yang kudapatkan, setelah aku bagu dengan teman sekelompokku serta sekolah, aku berikan sepenuhnya pada ibuku untuk dijadikan modal tokonya. Lomba yang benar merubah hidupku, itulah yang dapat aku renungi, bagaikan membebaskanku dan keluargaku dari keterpurukan selama ini. Andaikan aku bisa mengarang lagu, mungkin aku akan membuat lagu tentang hidupku ini dan kuberi nama “New Life”.

Sekolah baru, jika beberapa orang mengatakan betapa sulitnya mendapatkan teman di lingkungan baru, dan jika aku sampai mengatakan itu, mungkin aku akan mengutuk diriku sendiri seumur hidupku. Lingkungan baru bukan halangan bagi diriku untuk mencari teman, di sekolah ini aku mendapatkan banyak sekali teman, dari teman cewek sampai teman cowok, aku pun dengan mudahnya dapat berbaur dengan mereka tanpa minder sedikitpun.

Tak terasa sudah dua tahun kuhabiskan sisa masa-masa pendidikan dasarku di SD swasta ini. Dua tahun benar-benar membuat gaya hidupku berubah, dari dahulu seorang gadis kecil yang memiliki semangat belajar yang sangat tinggi, kini aku tetap menjadi gadis kecil, hanya saja saat ini aku lebih senang bermain dengan teman-temanku dan belajar pun semakin lama semakin kutinggalkan. “Apa yang kita tanam, itulah yang kita petik”, dulu aku yang belajar sangat tekun dan memperoleh juara pada lomba cerdas cermat, seperti itulah cara pepatah ini bekerja. Kini aku yang mulai menyepelekan belajar pun juga mendapatkan ganjaran yang sama, aku mendapatkan nilai yang kurang memuaskan dalam ujian, dan hanya bisa memasuki SMP yang bisa dibilang kurang favorit di kota ini. “Maafkan aku ibu” kata inilah yang aku ucapkan berkali-kali saat menghadapi kenyataan ini, ini adalah pertama kali aku mengecewakan ibuku yang sudah berusaha memberikan yang terbaik untukku. “Maafkan aku ibu”.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

#2 Bab2

Hari Spesial

Hari ini memang berbeda dengan hari lainnya. Aku yang biasa berlarian riang kesana kemari menuju sekolahku, kini berbeda. Hari ini, ibu menggenggam erat tangan kananku. Genggaman itu seakan mewakili berjuta kata yang tak dapat beliau ungkapkan lagi. Beliau seakan berkata, “Nak, harumkanlah nama keluargamu ini”, dan pastinya dengan berbagai macam harapan lain.

Lomba ini diadakan dibalai kota, lomba yang memang diadakan oleh walikota sendiri untuk memperingati hari jadi kotaku. Dari rumah, kami menaiki angkutan umum yang sejalan dengan tempat diadakan lomba, kurang lebih 10km jauhnya. Di perjalanan aku hanya bisa duduk tegang sambil sesekali menengok ke jendela khaawatir angkutan umum yang kami tumpangi kelewatan, dan hari yang spesial ini menjadi tidak spesial lagi. Untunglah hal itu tudak terjadi, dan sampailah kami didepan pintu gerbang balai kota, aku sungguh takjub. Seorang anak kecil yang hanya mengerti tentang berdagang, sekolah, dan agama, kini harus dihadapkan dengan megahnya gedung balai kota, serta musuh-musuh dari berbagai sekolah dasar di kota ini.

Di depan gerbang aku mengambil nafas, kemudian menghembuskannya perlahan, berusaha menguasai diri akan takjubnya semua hal ini. Merasa lebih baik aku melepaskan diri dari genggaman ibuku, berlari menuju pos pendaftaran ulang untuk mendapatkan nomor peserta.

Persiapan sudah matang, pendaftaran sudah dilakukan, kini yang bisa aku lakukan adalah berdoa serta tetap berusaha memenangkan kompetisi ini. Sebelum perlombaan dimulai, aku menemui beberapa guru, serta teman-temanku untuk berdoa bersama, dan cerdas cermat pun dimulai.

Dimulai dari babak penyisihan, hingga babak semifinal telah aku lalui dengan baik. Beberapa pertanyaan-pertanyaan menjebak yang dilontarkan oleh juri sempat membuat anak dari sekolah lain, bahkan teman se-timku panik. Tapi tidak untukku, upaya belajar giat memang terbukti hari ini, aku lolos ke babak final.

Babak final, tiap sekolah hanya dapat mengirimkan satu perwakilan pada babak ini. Dengan kata lain, satu orang itulah yang menjadi pertaruhan menang atau kalahnya suatu sekolah, dan tidak diragukan, SDku memilih aku sebagai perwakilan itu. Maju ke babak final dalam acara seperti ini merupakan hal yang sangat besar yang pernah dialami oleh keluargaku. Sembari melangkah menuju podium final, aku melihat wajah ibuku berlinangan air mata kebahagiaan, hal ini membuat diriku semakin bersemangat lagi. Tak diragukan, aku memenangkan perlombaan ini, dan berhak menerima beasiswa hingga lulus sekolah. Dapat dibayangkan betapa senangnya seorang pemilik toko kecil di tengah pasar kumuh itu melihat anak kebanggaannya mendapatkan beasiswa. Bahkan beliau sendiri pun mungkin tak tahu apa beasiswa itu sebenarnya, yang ia tahu itu adalah hal yang besar. Sangat besar.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS