#3 Bab3

Mundur Untuk Maju
Seorang wanita berkulit putih, dengan muka yang bulat mempesona, dihiasi kain sebagai penutup salah satu aurat wanita yang kerap disepelekan oleh beberapa pemiliknya sebagai aurat. Seorang gadis muslim yang menurutku memang seorang gadis yang sangat luar biasa yang pernah tercipta di muka bumi ini. Inilah wanita yang akan melanjutkan kehidupan cintaku selanjutnya.

“Sudah kujelajahi isi bumi, hanya untuk dapat hidup bersamamu”, sebait lirik lagu kondang itu mungkin dapat dikatakan sebagai gambaran kehidupan cintaku untuk mendekati gadis itu. Memang perasaan tidak bisa dipaksakan, namun kita dapat berupaya untuk mendapatkan perasaan itu. Walau sudah berkali-kali sejuta cara pendekatanku tak dihiraukan sama sekali, aku tetap tak akan menyerah untuk menempatkan namaku di dalam perasaannya.

Namamu seindah salju, matamu seindah bulan, jika anda menanggap ini adalah kata yang terlalu berlebih, tapi tidak bagiku. Hal ini tidaklah lebih bagi seorang pria yang sedang dilanda asmara sepertiku. Berbeda dengan seseorang yang sebelumnya, kali ini sangatlah sulit bagiku untuk menggedor pintu hatinya. Tapi bagi seorang pria tulen sepertiku, mendahulukan akal sebelum emosi adalah yang terpenting, menggunakan dalih tidak ingin pacaran dahulu, inilah cara jitu yang aku gunakan. Memang cara ini sangat riskan dan menunggu lama, belum lagi cara ini dapat membuka pertahananku terhadap lawan asmaraku sehingga mereka dapat melancarkan jurus jurus asmarany dengan lebih frontal kepadanya, tapi aku tak akan takut karena aku yakin serangan semacam itu tidaklah mempan untuk gadis semacam dia, dalam hati aku berkata “lalapo dingonokno, gak ngara isok, wong aku wes nyoba caramu kok (ngapain digituin, gak bakal bisa, aku lho sudah nyoba cara itu)” dan inilah satu-satunya cara yang paling tepat dan tidak akan terpikirkan lawan asmaraku untuk kondisi semacam ini “mundur untuk maju”. Karena berbahayanya jurus ini mungkin cukup sampai sekian saja jurus asmara klan Soedarmo, akan disambung dengan hasil hasil jurus ini saja karena dikhawatirkan jurus ini dipakai oleh orang dengan niatan buruk dan merebut seluruh hati gadis di muka bumi ini.

Keluar dari kisah asmaraku, banyak sekali hal yang aku alami dalam hidup ini. Menjadi seorang dokter merupakan cita-cita awalku, namun keyakinanku untuk menjadi seorang dokter ahli kelamin ini rupanya dibelokkan oleh segerombolan cecunguk ahli gendam di kelasku yang terkenal dengan nama #Illuminati. Profesi dokter yang ku junjung tinggi sebagai profesi yang melebihi profesi apapun sedari SD hingga SMP, kini telah hancur berantakan. Karena keinginanku tidak didukung oleh lingkungan sekolahku, aku pun pindah haluan untuk menjadi seorang ahli hukum demi menegakkan keadilan yang akhir-akhir ini sudah tak terdengar namanya.

Perpindahan haluan dari dokter ke hukum itu secara langsung tentunya juga merubah minat belajarku dari jurusan IPA ke IPS. Apa daya, sebuah kekuatan sekolah yang tak memperbolehkan murid Internasionalnya untuk menduduki kelas IPS ini seakan memaksakan mahluk dengan paru-paru untuk hidup di air atau mahluk berinsang untuk hidup di darat, tak sesuai habitat maksudnya. Otakku tiap harinya dijejali ilmu ilmu pasti matematika dan ilmu kimia yang kuanggap hal itu sangat abstrak dan tidak bisa kubayangkan tidak seperti ilmu-ilmu sosial. Belum lagi ditambah dengan arogansi sekolah yang semakin tinggi dengan adanya program internasional ini dan juga jumlah kelas IPA yang sebanyak 9 kelas. Hal inilah yang menjadi motivasiku untuk menulis berbagai macam artikel tentang hal ini.

Bakat menulisku rupanya juga menjadi bagian penting dalam karir hidupku. Kemenangan dalam berbagai lomba menulis kerap menjadi pengalaman berhargaku. Jikalau ada pekerjaan yang dapat kusambi saat ini, penyusun skripsi lepas di berbagai rental pengetikan di daerah perguruan tinggi mungkin bisa menjadi salah satu alternative magangku, namun saying aku tak bisa meninggalkan berbagai aktifitas organisasiku disekolah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

#3 Bab2

Berawal Dari Sebuah Kalimat

Berwajah kaku, berdarah india, pandai merangkai kalimat, itulah pandangan teman-temanku padaku. Pernah mewakilkan Indonesia untuk pertukaran pelajar di Negara Korea, merupakan suatu kebanggan besar. Tak heran, kini diriku sangat berterima kasih kepada negara tercintaku ini. Kejadian itu juga menumbuhkan rasa semangat, serta modal kepercayaan diriku diantara teman-teman superku kini. Siapa mengira anak yang berasal dari sekolah pinggiran, sekolah pesisir pantai, dapat menginjakkan kaki disebuah sekolah yang berada di pusat kota, dikerumuni keramaian, serta sangat diinginkan oleh anak diseluruh jagat Surabaya.

Diberi amanah sebagai orang nomor satu dikelas adalah prestasi kedua dari anak pesisir ini. Ketua kelas, sebuah jabatan yang aku dapatkan, sangat menuntutku untuk bersikap jujur, serta menguji kebijakan-kebijakan besarku yang membawa takdir kelas ini. Memang, namaku yang besar setelah berani berbicara blak-blak an saat MOS adalah salah satu faktor terpilihnya aku sebagai pemimpin kaum berjumlah 28 anak ini.

Deretan bangku sebelah kanan kelasku dapat dibilang adalah deretan paling luar biasa bagiku, deretan kaum hawa. Deret inilah yang selalu membuatku dapat merasakan aroma asmara yang luar biasa. Berbagai tingkah laku penduduk deret kanan ini memang sangat menarik perhatianku sebagai kaum adam. Anak berkepribadian diam, sampai tidak karuan pun dapat anda dapatkan disini.

Walau terlihat dewasa dari luar, sebenarnya aku juga sama dengan kebanyakan anak lain. Untuk masalah cinta, tak ada yang dapat mengelaknya, termasuk seorang Rambo sekalipun. Cinta, sebuah kata yang tekadang membuat seorang berpredikat professor pun pun harus memutar otak berkali-kali untuk menemukan apakah arti sebenarnya dari kata tersebut.

Seorang wanita dengan rambut pendek mengembang berwarna hitam mengkilap mulai membangkitkan kisah asmaraku di masa SMA ini. “I prefer killing myself to killing you” sebuah kalimat yang sangat bersejarah, asal muasal dari segala kisah cintaku di SMA ini. Seperti anak SMA kebanyakan, perjodohan tidaklah jauh dari pergaulannya. Jikalau kata kalimat “I prefer killing myself to killing you” dimisalkan sebagai bibit asmaranya, maka perjodohan ini dapat dibilang sebagai pupuk asmaranya.

Paras wajah gadis ini memang sangatlah mirip dengan salah satu mantanku, dan inilah yang membuatku kesengsem pada gadis ini. Lambat laun benih yang telah ditanam tumbuh, dan seperti inilah kehidupan asmaraku, berawal dari sebuah kalimat, kini menjadi tindakan. Pendekatan demi pendekatan ku lakukan, gadis yang semula hanya berstatus sebagai teman, kini telah berubah. Tanggal 20 08 2008, tepat pada pukul 20:08 merupakan waktu yang bersejarah bagiku, kuberanikan diriku untuk menyatakan perasaanku melalui beberapa kalimat dalam surat elektronik. Status kini telah berubah sebagai pacar, betapa senang hatiku mengetahui bahwa mentari esok adalah mentari yang berbeda dari sebelumnya, membawakan hari yang baru untuk kehidupan SMAku.

Beberapa hariku ku lalui dengan gadis itu. Jabatan ketua kelas memang memudahkanku untuk mencari pendamping, tak heran jika beberapa selebriti serta pejabat begitu mudahnya untuk mencari pasangan lain. “Status seseorang memberikan dampak bagi kehidupan seseorang tersebut”, hal inilah yang diterima syaraf sosialku setelah mendapati kejadian yang serupa.

Tak ada awal yang tanpa akhir, inilah yang dilalui manusia, walau mereka tak sadar akan semua ini, begitu pula dengan kehidupan cintaku. Setelah beberapa bulan melalui hari bahagia, karena ada suatu masalah, kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini. Orang lain mungkin merasa depresi jika berada dalam semua ini, di putuskan oleh pacar, tapi tidak untukku, karena aku yakin ini bukanlah akhir. Masih ada bibit-bibit cinta yang belum ditanam didalam hatiku ini, dan masih ada perjalanan cintaku selama dikelas yang menjadi kekuasaanku ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

#3 Bab1

Anak Sekolah Bergaya Retro


Sinar matahari menyambut hariku, seorang anak sekolah bergaya retro, dengan rambut berminyak dinaikkan sedikit keatas, berkalungkan kain gantungan handphone, tak ketinggalan kacamata pelindung sinar matahari pun dipakainya. Kupanaskan motor supra kesayanganku dengan sedikit tempelan penguin pada bagian depannya, ku eratkan helm hitam half-face dengan tambahan plastik bening pelindung debu, tak ketinggalan masker hijau dokter sebagai pengingat harapan-harapanku untuk menjadi seorang dokter hebat. Doa restu orang tua berlapis uang sangu tak pernah lupa aku kantongi, kini ku siap untuk menjadi apa yang ku mau hari ini, dan menjadi apa yang aku inginkan kelak.


Kususuri jalan-jalan sempit bagian utara kota Surabaya sambil otakku memutar kembali kata-kata orang hebat yang pernah kubaca ataupun kudengar dari media apapun demi menjadi motivasiku hari ini. Ketika otak kanan bekerja keras mengumpulkan segala daya kereativitas yang kumiliki untuk menyusun kata-kata, otak kiri ku pun tak pernah jenuh untuk menuruti apa kata majikannya untuk mengulang beberapa hafalan system syaraf serta anatomi-anatomi padah tubuh manusia, hewan, tumbuhan, dan juga anatomi pemerintahan. Sementara tangan, kaki, otak, bekerja semua rupa-rupanya mataku tak ingin hanya disuruh memperhatikan jalanan saja, ia meminta untuk mengamati keadaan sosial yang terjadi di kota ini, bagaimana para manusia saling berinteraksi satu sama lain, bagaimana mahluk bernama latin Homo Sapiens ini saling mengadakan pengendalian sosial dan sebagainya.


Keluar dari kesibukan aktivitas di gang-gang kecil ini, kini dihadapanku disuguhkan suatu hiruk pikuk kota Surabaya dengan berbagai macam masalah lalu lintas yang terjadi. Orang lain mungkin berpikir “Apa-apaan ini”, suatu pertanyaan yang hanya dilandasi oleh emosi, dan ketergantungan orang lain untuk menjawabnya, namun yang ada dipikiranku adalah “Bagaimana ini”, pertanyaan yang menekan otak untuk menyelesaikan suatu masalah. Itulah perbedaan yang membedakan antara aku, dan orang lain.


Dari kecil tinggal di kota ini, entah itu yang membuatku fanatik akan kota di pelosok jawa timur ini ataukah ada hal lain yang membuatnya begitu. Hafal daerah hingga sejarah tiap daerah di kota Surabaya, orang lain mungkin kagum dengan semua itu, tapi aku menganggap hal itu biasa, terlalu naïf seorang anak Surabaya jika ia tidak mengenal kotanya sendiri.


Perjalanan singkat dari rumah ke sekolah selesai, perjalanan “cuma lima menit” yang dikatakan orang-orang, berbeda dengan perjalanan “lima menit”ku, bagiku lima menit adalah waktu yang cukup lama jika seseorang mau mengambil semua pelajaran yang ada diperjalanannya. Kumasuki gerbang tinggi sebagai batas teritorial sebuah gedung pendidikan tua yang menjadi salah satu cagar budaya kota ini. Kualihkan setir motorku ke kanan menuju area parkir motor, kumatikan mesin dan ku taruh helm hitamku di bagian ujung sadel, masker ku masukkan di dalam helm itu, akupun bergegas menuju kelas yang terletak di ujung sekolah bagian atas.


Kubuka pintu kelasku, salam tak lupa aku ucapkan. Rupanya disana sudah ada beberapa teman sedang berbincang-bincang dengan ceritanya masing-masing. Kuhampiri sebuah meja deretan belakang sebagai singgasanaku hari ini, kuletakkan kumpulan kotak ilmu ku disana, dan bergabunglah aku kedalam salah satu kelompok cerita tersebut. Topik pagi hari kelas ini bermacam-macam, beberapa dari mereka kadang menceritakan betapa spektakulernya gol-gol yang terjadi kemarin malam, ada yang berdiskusi masalah kepanitiaan yang sedang mereka jalani, ada yang membahas kumpulan soal yang nanti mungkin akan dikeluarkan dalam ujian, dan ada juga yang nyanyi-nyanyi tidak karuan dengan berbagai macam goyangannya didepan kelas.


Itulah rutinitasku di pagi hari, penuh akan semangat, doa, harapan, dan juga keceriaan. Inilah cerita yang akan kuceritakan padamu nanti, cerita dari seorang anak sekolah bergaya retro ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

#2 Bab5

Tresna Marga Kulina

Sekolah, kuliah, bekerja, berkeluarga. Inilah yang menjadi pedoman hidup tiap insan di muka bumi ini tak terkecuali aku. Kini aku yang sudah semester akhir di kuliah sudah siap untuk bekerja dan mencari pendamping tentunya.

Keluar dengan nilai yang baik menjadi modal untukku, apalagi ditunjang dengan skill PR (Public Relation) yang memang sudah aku asah sejak kecil dengan membantu ibu di toko. Sekarang, aku hanya perlu mencari suatu perusahaan yang memiliki prospek yang bagus untuk karirku. Kunyalakan ponsel, hanya dengan mengetikkan nama perusahaan, kini aku mendapatkan beribu nama perusahaan di genggamanku, betapa praktisnya kawan. Aku meneliti setiap kata yang dituliskan pada tiap-tiap web, mencari tahu tentang apa yang dibutuhkan pada tiap-tiap perusahaan, dan akhirnya aku dapat menyimpulkan suatu hal-kini, tiap perusahaan menginginkan pegawainya dapat berbahasa Inggris. Di jaman seperti ini, mampu bahasa Inggris memanglah bukan hal yang spesial untuk mencari kerja, karena itu aku yang belum bisa berbahasa Inggris dengan cukup lancar mencari jalan lain untuk mencari pekerjaan-bahasa asing kedua. Bahasa asing kedua, inilah salah satu hal yang dapat memutar otak berkali-kali bagi tim penyeleksi pegawai walau orang yang ia seleksi mendapatkan nilai yang tidak cukup bagus untuk bekerja. Inilah yang aku targetkan, apalagi ditambah dengan kemampuan khusus serta nilai akhirku yang memuaskan, bisa dibilang tak ada perusahaan yang akan menolakku nantinya.

Memiliki darah tionghoa, pernah belajar bahasa mandarin saat SMA, ahli dalam bidang marketing. Melihat dari beberapa latar belakangku, kurasa tak ada hal yang tidak mendukungku untuk belajar bahasa para pemimpin pasaran, bahasa mandarin. Aku pun segera mencari tempat les mandarin murah yang terdekat dari rumahku demi menghemat uang. Program intensif aku ambil agar aku dapat segera bekerja.

Hanya berselang dua bulan dari les itu, aku sudah bisa berbahasa mandarin dengan cukup lancar, walaupun sedikit kikuk dalam berbicara, kini aku telah siap utuk melamar pekerjaan. Seperti yang aku perkirakan sebelumnya, sebuah perusahaan gadget ternama menerimaku tanpa syarat sebagai bagian tim uji kualitas produk sekaligus seba. Walau begitu, beberapa percobaan kerja bagi pegawai baru tetap harus ku jalani, tapi memang beruntungnya diriku, aku lulus dalam percobaan itu.

Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja-itulah yang pertama kali ku lakukan saat aku diterima di perusahaan ini. Berkenalan dengan kerja juga termasuk dalam fase itu, dan memang pegawai disini orangnya sangat ramah, namun ada satu orang yang menjadi perhatianku selama disini, orang itu sangatlah giat, ia selalu datang pertama dan pulang terakhir, selalu berada di ruangannya untuk mengerjakan tugasnya, tak pernah keluar saat makan siang, ia tetap berada di ruangannya bekerja sambil sesekali memasukkan sendok berisi makanan bekal ibunda kesayangannya.

Tak ingin terus-terusan berada dalam rasa penasaran aku berusaha memberanikan diri masuk ke dalam ruang kerja orang itu. Rasa penasaranku berubah menjadi rasa kaget setelah berada di ruangan itu, tidak disangka, dan tidak dikira, rupanya ia adalah teman SMA ku yang dulu sangat kubenci, dan kini ia menjadi teman kerjaku, bahkan bisa dibilang atasanku. Pikirku pun melayang mengingat bagaimana rupa anak itu saat ia masih SMA, begitu polos dan innocent, tapi kini ia dengan kulit putih mulus, tinggi, berisi, dan dengan rambut yang trendy, benar-benar memutar balikkan dengan kata-kata yang sering kuucapkan untuk menyindirnya. Sekarang dia benar-benar beda, dan aku benar-benar salut akan dirinya.

Tresna marga kulina” itu yang sering dikatakan orang jawa kepada seseorang yang cint karena sering bertemu, entah hal itu berlaku padaku atau tidak aku tidak tahu, yang jelas kini dia benar-benar begitu hebat dimataku.

Lima tahun berlalu sejak aku bertemu dengan orang hebat itu, kini ia adalah suamiku setelah ia berubah haluan hidup. Kamipun dikaruniai dua orang anak laki yang sangat mirip dengan bapak dan ibunya.


#2 Illuminati stories. Annisa Mulia Sabrina.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

#2 Bab4

Masa SMA

Kurang berhasilnya dalam masa peralihan SD ke SMP memang sempat beberapa kali menjadi momok untukku, tapi sekali lagi ibuku, orang yang sempat aku buat kecewa, selalu memberikan aku motivasi serta semangat-semangat padaku, dan setelah memperbaiki diri pada tiga tahun masa SMPku, kini aku menyelesaikan ujian akhir dengan sangat sukses, dan diterimalah aku di salah satu SMA negeri favorit di sekolah ini, walaupun aku sempat merasa gagal di kesempatan sebelumnya. Tetapi ada sedikit kebanggaan dalam hidupku, sebagai seorang anak, uang hasil lombaku yang menjadi modal usaha ibuku kini sangat bermanfaat. Dengan uang itu kini ibuku dapat memiliki kios sendiri yang bisa dibilang besar, dan keadaan ekonomi keluargaku pun berangsur-angsur membaik.

“Masa SMA adalah masa yang paling indah”, mungkin hal ini sudah tidak asing lagi di telinga kita, yah al ini memang benar, dan aku sudah membuktikannya berkali-kali. Mungkin sebenarnya hal yang aku rasakan bukan cinta yang sebenarnya. Kagum, mungkin kata ini lebih tepat. Diawali dari seseorang yang aku kagumi semenjak aku berada di SMP, hingga aku berada di tahun pertama SMA ini, namun hal ini kandas ditengah jalan. Selanjutnya aku mulai beralih level, kini aku lebih mengagumi guru-guru, dari guru fisika yang berkharisma, hingga guru olahraga yang sudah cukup umur pun tak lewat aku kagumi, memang bagiku semua lelaki memiliki kharisma masing-masing yang tak dimiliki oleh mahluk laki-laki lainnya.

Sudah cukup berkelana di pesona kehidupan pria dewasa, kini aku kembali pada yang sewajarnya, cowok remaja. SMA ini sebenarnya aku memiliki seseorang yang sangat special, dia adalah cowok yang bisa dibilang memang tipeku. Lebih baik kita beralih topik ya kawan, setahun menceritakan dirinya pun mungkin takkan cukup untukku (untuk lebih lanjut baca di konten 16 tahun keatas).

Kawan, di SMA ini aku mendapatkan banyak hal. Mimpi, itulah kunci teman-temanku disini. Mereka memiliki banyak sekali mimpi di angan mereka, dan inilah yang aku pelajari disini. Hal kedua yang aku pahami disini adalah persahabatan. Aku yang di SMA ini tak memiliki kawan lama, bahkan sudah pesimis tidak mendapatkan teman, memang aku yang sekarang tidak lagi seperti aku yang dulu lagi, saat ini mentalku sudah tidak stabil lagi. Namun disini banyak sekali kawan-kawan yang siap mengangkat saat aku jatuh, disini mereka hidup dengan berdampingan, sangat berbeda jika dibandingkan dengan sekolah lain.

Masa SMA memang terlalu singkat jika kita benar-benar menikmatinya. Tak terasa waktu berjalan begitu kencangnya. Kini aku sudah menjadi salah satu alumni almamater tersebut. Seluruh temanku lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, mereka masuk di jurusan-jurusan yang mereka inginkan, mulai dari tehnik, hingga hukum. Begitu pun aku, akhirnya aku dapat masuk di salah satu jurusan tehnik di institute ternama di kota ini. Inginku masuk di institute terbaik di negeri ini yang terletak di bagian barat pulau tempat aku tinggal, namun kodrat perempuan yang tak bisa aku lawan. Aku harus tetap berada di kota ini untuk tetap membantu ibuku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

#2 Bab3

New Life

Berselang dari kemenangan besar itu kehidupanku berubah. Dari perlombaan itu, aku mendapatkan hadiah beasiswa sampai tamat pendidikan dasarku, serta hadiah uang tunai sebesar satu juta rupiah, nominal ini sangatlah langka pada saat masa-masa krisis saat itu.

Kini, berbekal beasiswa sekolah itu, aku dipindahkan oleh ibuku ke salah satu SD swasta yang tetap berada di kota ini dengan harapan pendidikan yang aku nikmati dapat menjadi lebih baik. Sebagian orang memang menganggap apa yang dilakukan ibuku itu tidak mengenal rasa terima kasih. Mereka berpendapat aku dan ibuku bagai kacang lupa kulit, melupakan sekolah yang sudah membuatku hebat sampai seperti ini selama empat tahun, dan begitu mendapatkan hadiah beasiswa aku begitu saja melupakan sekolah lamaku dan pindah ke sekolah lain. Tapi, aku tak peduli apapun yang mereka katakana, aku juga tak berpendapat bahwa apa yang dilakukan ibuku ini aji mumpung. Bukan, satu-satu yang kupikirkan tentang apa yang dilakukan ibuku ini adalah bukti betapa seorang ibu menginginkan hal yang terbaik untuk anaknya. Hadiah tunai yang kudapatkan, setelah aku bagu dengan teman sekelompokku serta sekolah, aku berikan sepenuhnya pada ibuku untuk dijadikan modal tokonya. Lomba yang benar merubah hidupku, itulah yang dapat aku renungi, bagaikan membebaskanku dan keluargaku dari keterpurukan selama ini. Andaikan aku bisa mengarang lagu, mungkin aku akan membuat lagu tentang hidupku ini dan kuberi nama “New Life”.

Sekolah baru, jika beberapa orang mengatakan betapa sulitnya mendapatkan teman di lingkungan baru, dan jika aku sampai mengatakan itu, mungkin aku akan mengutuk diriku sendiri seumur hidupku. Lingkungan baru bukan halangan bagi diriku untuk mencari teman, di sekolah ini aku mendapatkan banyak sekali teman, dari teman cewek sampai teman cowok, aku pun dengan mudahnya dapat berbaur dengan mereka tanpa minder sedikitpun.

Tak terasa sudah dua tahun kuhabiskan sisa masa-masa pendidikan dasarku di SD swasta ini. Dua tahun benar-benar membuat gaya hidupku berubah, dari dahulu seorang gadis kecil yang memiliki semangat belajar yang sangat tinggi, kini aku tetap menjadi gadis kecil, hanya saja saat ini aku lebih senang bermain dengan teman-temanku dan belajar pun semakin lama semakin kutinggalkan. “Apa yang kita tanam, itulah yang kita petik”, dulu aku yang belajar sangat tekun dan memperoleh juara pada lomba cerdas cermat, seperti itulah cara pepatah ini bekerja. Kini aku yang mulai menyepelekan belajar pun juga mendapatkan ganjaran yang sama, aku mendapatkan nilai yang kurang memuaskan dalam ujian, dan hanya bisa memasuki SMP yang bisa dibilang kurang favorit di kota ini. “Maafkan aku ibu” kata inilah yang aku ucapkan berkali-kali saat menghadapi kenyataan ini, ini adalah pertama kali aku mengecewakan ibuku yang sudah berusaha memberikan yang terbaik untukku. “Maafkan aku ibu”.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

#2 Bab2

Hari Spesial

Hari ini memang berbeda dengan hari lainnya. Aku yang biasa berlarian riang kesana kemari menuju sekolahku, kini berbeda. Hari ini, ibu menggenggam erat tangan kananku. Genggaman itu seakan mewakili berjuta kata yang tak dapat beliau ungkapkan lagi. Beliau seakan berkata, “Nak, harumkanlah nama keluargamu ini”, dan pastinya dengan berbagai macam harapan lain.

Lomba ini diadakan dibalai kota, lomba yang memang diadakan oleh walikota sendiri untuk memperingati hari jadi kotaku. Dari rumah, kami menaiki angkutan umum yang sejalan dengan tempat diadakan lomba, kurang lebih 10km jauhnya. Di perjalanan aku hanya bisa duduk tegang sambil sesekali menengok ke jendela khaawatir angkutan umum yang kami tumpangi kelewatan, dan hari yang spesial ini menjadi tidak spesial lagi. Untunglah hal itu tudak terjadi, dan sampailah kami didepan pintu gerbang balai kota, aku sungguh takjub. Seorang anak kecil yang hanya mengerti tentang berdagang, sekolah, dan agama, kini harus dihadapkan dengan megahnya gedung balai kota, serta musuh-musuh dari berbagai sekolah dasar di kota ini.

Di depan gerbang aku mengambil nafas, kemudian menghembuskannya perlahan, berusaha menguasai diri akan takjubnya semua hal ini. Merasa lebih baik aku melepaskan diri dari genggaman ibuku, berlari menuju pos pendaftaran ulang untuk mendapatkan nomor peserta.

Persiapan sudah matang, pendaftaran sudah dilakukan, kini yang bisa aku lakukan adalah berdoa serta tetap berusaha memenangkan kompetisi ini. Sebelum perlombaan dimulai, aku menemui beberapa guru, serta teman-temanku untuk berdoa bersama, dan cerdas cermat pun dimulai.

Dimulai dari babak penyisihan, hingga babak semifinal telah aku lalui dengan baik. Beberapa pertanyaan-pertanyaan menjebak yang dilontarkan oleh juri sempat membuat anak dari sekolah lain, bahkan teman se-timku panik. Tapi tidak untukku, upaya belajar giat memang terbukti hari ini, aku lolos ke babak final.

Babak final, tiap sekolah hanya dapat mengirimkan satu perwakilan pada babak ini. Dengan kata lain, satu orang itulah yang menjadi pertaruhan menang atau kalahnya suatu sekolah, dan tidak diragukan, SDku memilih aku sebagai perwakilan itu. Maju ke babak final dalam acara seperti ini merupakan hal yang sangat besar yang pernah dialami oleh keluargaku. Sembari melangkah menuju podium final, aku melihat wajah ibuku berlinangan air mata kebahagiaan, hal ini membuat diriku semakin bersemangat lagi. Tak diragukan, aku memenangkan perlombaan ini, dan berhak menerima beasiswa hingga lulus sekolah. Dapat dibayangkan betapa senangnya seorang pemilik toko kecil di tengah pasar kumuh itu melihat anak kebanggaannya mendapatkan beasiswa. Bahkan beliau sendiri pun mungkin tak tahu apa beasiswa itu sebenarnya, yang ia tahu itu adalah hal yang besar. Sangat besar.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

#2 Bab1

Anak Kecil Dengan Sejuta Harapan

Namaku Annisa Mulia Sabrina, dari kecil aku memang dibesarkan di lingkungan yang keras, dan menuntut kemandirian. Aku adalah cewek keturunan Jawa Tionghoa, dengan tinggi rata-rata. Dibesarkan di suata lingkungan pasar yang kurang kondusif tidak membuatku patah semangat dalam menuntut ilmu, justru karena tempat inilah, aku yang dewasa kelak memiliki instuisi bisnis yang tinggi. Berhubungan dengan berbagai macam orang, membuatku dapat menilai betapa beragamnya individu bernama manusia ini.

5 Oktober 1993, tepat pada tanggal itu, ibuku menahan rasa sakit yang luar biasa. Demi melihat seorang buah hatinya, beliau rela untuk menahan rasa sakit yang luar biasa itu. Anak kecil dengan sejuta harapan, itulah lima kata yang dapat mewakilkan diriku. Satiap kali beliau menceritakan proses kelahiranku yang sangat bersejarah baginya, aku selalu menitihkan air mata, mengingatkanku akan janjiku untuk membahagiakan beliau. Saat aku berumur tiga tahun, usaha yang dirintis ibu dari dahulu tiba-tiba saja musnah. Pasar yang menjadi tumpuan ibu dalam menghidupi keluarga terbakar tanpa ada alasan yang jelas, hal ini sangat mempengaruhi kehidupan kami. Aku yang awalnya diberi sebotol susu hangat, sekarang hanya bisa meminum tajin-air rendaman beras yang berwarna putih pucat.
Tak ingin terpuruk begitu lama dalam keadaan ini, ibu segera membangun kembali usaha dagangnya dengan menggunakan tabungan yang bertahun-tahun telah beliau siapkan untuk biaya sekolahku kelak. Usaha ibu yang begitu gigih dalam menjalani kehidupan keras ini mengajarkanku suatu hal yang berharga, “jika kau memandang kehidupanmu keras, maka kau harus menjadi lebih keras”.

Saat menginjak umur enam tahun, ibuku memasukkanku kedalam salah satu SD negeri di kotaku. “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, nak” itulah kata yang sering beliau ucapkan kepadaku, dan tentu itu merupakan cambuk yang keras untukku dalam meraih pendidikan. Aku yang saat itu menjadi seorang pelajar SD tidak menghalangiku untuk tetap membantu ibu berdagang di pasar. Sepulang sekolah, aku melangkahkan kedua kaki mungilku keluar sekolah, menuju kejalanan sempit penuh genangan air untuk menghampiri kios ibuku yang memang terletak pada bagian tengah pasar. Dibukanya buku tulis lusuhku saat tiba di kios. Membaca kembali pelajaran yang tadi kudapatkan, itulah yang selalu ku lakukan sepulang sekolah, sembari melayani pembeli dengan pandangan tetap tertuju pada bukuku.

Suatu saat, tiba-tiba saja salah seorang guruku memilih aku untuk mengikuti lomba cerdas cermat yang memang konon kabarnya, hadiah dari lomba itu sangatlah besar. Merasa membawa amanah yang begitu berat, aku meningkatkan kualitas belajarku. Aku yang sepulang sekolah biasa membantu ibu di pasar, kini berubah haluan menuju rumah petak disebelah rel kereta api. Deru kereta api yang begitu keras masih juga tak dapat menghalangi rasa semangatku. Belajar mulai diterangi sinar matahari yang terik, hingga lampu teplok yang remang aku lakukan tiap hari. Gigitan nyamuk tak pernah kuhiraukan, pernah suatu pagi kulitku bentol-bentol biru karenanya.

Belajar tekun disekolah, mencatat tiap kata ilmu yang diucapkan bapak dan ibu guru, membaca kembali catatan itu dirumah, hal itu kulakukan berulang-ulang tiap harinya.

Hari itu pun tiba, hari yang menurutku adalah hari terbesar dan kesempatan untuk menjadi titik balik nasibku. Memang, saat ini aku masih menginjak kelas 4 SD, tapi ilmu sampai kelas 6 pun sudah aku kuasai semua. Ibu yang seharinya selalu bekerja di pasar, khusus hari ini beliau menutup dagangannya, hanya untuk melihat anak kesayangannya ini beraksi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

#1 Bab3

Illuminati

Keluar dari sebuah institusi pendidikan formal sudah menjadi langkah besarku dalam hidup. Aku yang lulus dengan nilai yang cukup memuaskan membuatku dapat bergabung menjadi salah satu bagian dari salah satu SMA Negeri terbaik di negeri ini. Aku yang belum cukup puas akan pendidikan normal, mulai mencoba ke pendidikan yang memiliki standar Internasional. Hal ini membuat teman-teman SMP ku iri denganku, dan aku pun semakin dijauhi. Tapi sekali lagi, hal ini tidak menyurutkan semangatku untuk menuntut ilmu.

Kisahku di sekolah ini dimulai dari kegiatan orientasi yang diadakan oleh sekolah selama tiga hari. Tidak seperti sekolah lain, kegiatan orientasi di sekolah ini memang cukup keras, apalagi untuk anak sepertiku. Sudah menjadi kewajibanku untuk mengerjakan tugas-tugas selama kegiatan berlangsung. Tapi sekali lagi, lemahnya fisik membuatku tidak bisa melangkah lebih jauh. Setiap malam saat teman-temanku mengerjakan dengan semangat, aku malah terlelap dalam kasur empukku bersama kedua bantal guling serta dihiasi dengan bau tak sedap liurku, alhasil selama tiga hari itu aku selalu melakukan kesalahan dan tingkat emosi para seniorku jauh melebihi anak-anak lain.

Akhirnya masa-masa orientasi telah berakhir, aku sudah membayangkan bagaiman indahnya masa SMA ku. Memang seperti kata pepatah “Dunia tidak seindah yang kita kira” pepatah itu rupanya masih melekat denganku hingga sekarang. Tidak jauh beda dari masa SMP ku, disini aku tetap saja tidak memiliki teman. Aku yang sudah berusaha mendekati teman-teman dengan cara apapun tetap saja tidak berhasil. Saat ini aku merasa berbeda, baru kali ini aku menyerah, apakah itu karena tekanan masa orientasi ? Aku sendiri pun tak tau.

Berawal dari sebuah acara bernama “cheerliar”, aku merasa kebencian teman-teman kepadaku semakin bertambah. Memang, selama kegiatan ini berlangsung aku selalu membuat masalah, tidak hanya dikelasku, bahkan sampai kakak kelasku. Masa-masa tingkat pertamaku di sekolah ini kujalani seperti biasa, sendiri. Tetapi tahun pertamaku tidak sepenuhnya kelam, disini aku menemukan cinta pertamaku, sungguh berbeda rasanya merasakan perasaan ini. Kekejaman teman-teman lain seakan hilang saat ia mengajakku berbicara.

Tahun kedua, keakraban dalam kelasku semakin bertambah, nama kelasku yang semula bernama Pentol, kini berganti Illuminati. Namun keakraban itu rupanya tak berfungsi untukku, bahkan mereka semakin mem-bully ku hanya karena rasku, ya, sangat tidak manusiawi. Namun Karena memang disini aku tidak memiliki kekuatan untuk melawan, hukum rimba pun berlaku.

Semester dua, beberapa patah kata curhatan yang aku tuliskan pada salah satu media elektronik membuat beberapa temanku mulai peduli denganku, namun bukan kepedulian untuk berbuat baik, justru malah semakin membuat mereka geram akan ulahku. Forum terbuka dikelasku pun diadakan, demi mengerti apakah yang aku inginkan dan mengapa aku diperlakukan semena-mena. Forum berjalan cukup alot, kedua belah pihak (aku dan kelasku) saling membicarakan tuntutan dan bicara terang-terangan. Jalan akhir pun dijumpai, kami mulai membuat kesepakatan agar mereka mulai memperlakukan selayaknya teman, dan aku pun harus mengurangi rasa keegoisanku. Pada awalny hal ini berjalan baik, sampai akhirnya aku sendiri kembali ke tabiat awalku-mengesalkan. Hal ini membuat batalnya perjanjian kami secara natural dan mereka pun kembali memperlakukan aku seperti dulu.

Tak terasa masa SMA berjalan begitu cepat, aku yang pada awalnya dibenci dan tidak dapat berteman, kini dapat membaur cukup baik. Memang masa SMA ini adalah masa yang terindah, persahabatan pertama yang ku rasakan terjadi disini.

Masa perjuanganku selama tiga tahun disekolah ini akhirnya bebuah hasil. Aku diterima di salah satu PTN favorit di negeri ini. Begitu pula sahabatku. Mungkin kalian tidak akan percaya, suatu saat aku akan menjadi seorang programmer terkenal serta hidup bahagia dengan keluargaku.


#1 Illuminati stories. Adrian Yuwono Sutejo.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

#1 Bab2

Empat Tahun

Sudah empat tahun lamanya aku menginjakkan kaki di negeri ini, aku hidup bersama seorang wanita tua yang membawaku dari pelabuhan dimana aku tak tau lagi harus kemana yang saat ini sudah menjadi orang tua angkatku, hingga sekarang aku menjadi pemuda yang sudah berkebangsaan Indonesia, serta dapat membaca, menulis, serta mengerti Bahasa Indonesia, walaupun aku sendiri tidak bisa membaca serta menulis tulisan dari Negara asalku.

Empat tahun lamanya aku mulai belajar tentang segala hal tentang pelajaran demi mengejar ketertinggalanku saat masih berada di negeri asalku. Aku belajar dari guru-guru les yang didatangkan oleh orang tua angkatku, buku-buku perpustakaan lama yang terletak di depan persis rumahku, televise, hingga internet. Mulai dari matematika, pengetahuan alam, maupun sosial. Sekarang aku sudah menjadi anak berpendidikan, dan siap untuk mengenyam pendidikan formal tanpa tertinggal satu kelas pun.

Kini, berselang empat tahun dari seorang anak terlantar aku sudah menjadi seorang murid dari salah satu SMP swasta yang memiliki populasi ras sejenis denganku di kota ini. Diriku yang tidak memiliki ijasah SD membuatku hanya bisa memasuki SMP swasta dengan sedikit kongkalikong dengan pihak sekolah. Tapi disini aku sudah bertekad agar menjadi anak yang dapat membanggakan Negara dimana tempat aku lahir, dan juga Negara dimana tempat aku tinggal. Buku demi buku sudah aku baca, pelajaran hidup sudah aku dapatkan, tapi hanya satu yang belum aku dapatkan disini, teman.

Aku saat ini sudah menjadi seorang anak yang pandai disekolahku. Pikiran bahwa aku bisa melakukan segalanya mulai melintas dipikiranku, aku mulai berpikir bahwa semua orang pasti membutuhkanku, tapi aku tidak membutuhkan orang lain. Tapi ternyata pemikiranku salah, cara berpikirku yang seperti itu membuatku mulai dijauhi teman-temanku. Sifatku yang cenderung egois menjadi jurang pemisah antara aku dan temanku, dan seperti yang aku takutkan, aku menghabiskan saat-saat sekolah pertamaku tanpa teman dekat disampingku. Sendiri meninggalkan kenangan-kenangan pahit bersama masa-masa SMP ku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

#1 Bab1

Ini Adalah Tempatku

Berawal dari sebuah daerah timur Asia. Chino, sebuah negara yang memiliki populasi terbesar di Asia, tempat yang terkenal akan kemegahan great wallnya itulah kehidupanku dimulai.

Aku adalah seorang anak dengan kulit putih pucat, dengan rambut yang bisa dibilang cukup aneh, serta cara berbicaraku yang dapat membuat malaikat pun bisa berubah menjadi setan, dan ini adalah cerita mengenai kisah hidupku.

Sejak kecil, hidupku memang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Besarnya populasi penduduk China membuatku serta keluargaku tak dapat duduk tenang, bahkan di negara kelahiran kami sekalipun. Aku yang tak tahan akan semua ini memutuskan untuk pergi, mungkin hingga meninggalkan negara yang tak memiliki rasa menghargai warga negaranya ini. Bermodalkan tekad, aku menumpang seorang temanku yang memiliki kapal dan memulai perjalanan panjangku. Beberapa orang mengira aku gila, “Anak berumur sepuluh ? Berlayar sendiri ? Ah, bodoh anak ini” mungkin seperti itulah bayangan beberapa orang jika melihat keadaanku ini.

Fisikku memang lemah, tapi tidak dengan keyakinanku. Lemahnya fisikku membuatku sering mabuk laut, mungkin terbersit beberapa pikiran-pikiran jengkel dari para awak kapal, mungkin berbunyi “ini anak, udah numpang, gak kerja, nyusahin tok” tapi bagai punduk merindukan bulan, sebenarnya aku ingin sekali membantu mereka. Menarik jangkar, mengembangkan layar, membersihkan dek kapal, tapi memang apalah dayaku, dan inilah kenyataan yang harus kuhadapi.

Lima bulan ku menempuh perjalanan, tanpa orang dewasa menemaniku, terduduk terdiam di kakus kapal, karena memang inilah satu-satunya tempat yang terbuka untukku dikapal ini, hanya ditemani suara deru ombak dan beberapa celah kayu atap kapal yang membuat ruang bagi sinar matahari untuk masuk. Sudah banyak tempat yang ku singgahi, dari Thailand, hingga Malaysia, tetapi menurutku tidak ada tempat yang cocok uuntukku, rasku maksudnya. Hingga suatu saat kapal kami berlabuh disebuah pulau kecil di sebuah Negara maritim bagian selatan Asia, orang-orang biasa menyebutnya pulau Jawa.

Pulau Jawa, aku melangkahkan beberapa langkah kakiku disana, beberapa langkah kaki yang berisi berjuta harapan dari seorang anak ingusan sepertiku ini. Sebenarnya yang kusinggahi adalah bagian timur pulau ini, kota Surabaya lebih tepatnya. Rupanya orang-orang pelabuhan memandangku dengan tatapan tak enak, mungkin dikira aku adalah tawanan perang yang sudah berhari-hari tidak dikasih makan. Rambut merah, perut kurus kering hingga terlihat beberapa tulang rusuk yang menonjol, muka bagaikan orang kekurangan suplai gizi ke otak, mulut menganga, mata…. Tetap seperti dulu.

Dari sana, aku yang tak memiliki kenalan hanya bisa duduk terdiam disamping truk barang, sambil melihat beberapa kuli megerjakan tugas hariannya. Sudah ada dalam pikirku akan bekerja seperti mereka demi bertahan hidup disini, tapi untunglah, sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba ada seorang ibu yang memiliki ras yang sama denganku. Dia berbicara denganku dengan bahasa Indonesia, aku yang saaty itu tak mengerti apapun tentang bahasa local hanya bisa manggut-manggut selagi dia menarik tanganku dan memasukkanku kedalam sebuah mobil. Disetirnya mobil itu meninggalkan pelabuhan tempatku pertama kali menginjakkan tempat di pulau ini. Didalam mobil itu, aku dapat melihat betapa indahnya kota ini, bangunan-bangunan jaman koloni, pepohonan, dan dilengkapi berbagai pemandangan orang berlalu lalang dengan segala tanggung jawab yang ia pikul masing-masing, begitu mandiri, dan individualis. Bayangan lama bahwa manusia diciptakan sebagai mahluk social seakan sirna melihat pemandangan kota ini.

Tak sampai perjalanan ini dimulai, terlihat olehku sebuah gapura merah besar dengan lambang naga, dan beberapa tulisan Chino dibagian atasnya. Aku yang saat itu tidak bisa membaca tulisan Chino tak tau apa maksud dari tulisan itu, tapi satu yang kuyakini bahwa “Ini adalah tempatku”.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Lagu Diklat

Seniorku Idolaku
Di dlam pelatihan tidak pernah memalukan
Sukses dalam tugas suatu kebanggan
Smalabaya-smalabaya andalanku andalanku
Seniorku-seniorku idolaku idolaku
Paski lima-paski lima itulah diriku
Majulah paski lima ayo terus maju

Yel-Yel Diklat Angkatan 17
Hari ini, kami ada disini
Tuk ikuti, diklat paski lima smala
Tak akan ada kemalasan yang melintas
Tak akan ada rasa lelah putus asa
Karna perjuangan yang tlah dilewati bersama
Jadikan kami angkatan 17....

Ya, inilah lagu-lagu penyemangatku saat diklat, anggota dari suatu angkatan paski di SMA Negeri 5 Surabaya...
ANGKATAN 17 Pas-Q V SMALA...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Memory (copas from Safana)

masih sangat jelas terekam di otakku, hari dimana aku menuliskan namaku dan SS di secarik kertas yang berjudul “SS Tujuan”. ragu – ragu? ya, sangat bimbang dan ragu-ragu antara iya dan tidak. SS yang akan ku tulis adalah SS yang notabene dikatakan seperti “perisai ke-2”. tetapi entah karena apa, terkadang aku sangat yakin menuliskan namaku disitu.

hari dimana aku mendapat sebuah undangan yang tergeletak di atas mejaku. “TM 1 PAS-Q V”. benar-benar namaku sudah terdaftar di dalamnya ya? saat itu aku masih sangat bimbang, panik (karena teman-temanku juga sama paniknya denganku) masih juga tidak percaya bahwa nantinya aku akan mengikuti serangkaian acara disitu. tapi sayangnya aku tidak dapat mengikuti TM 1 dikarenakan suatu urusan lain. kata teman-temanku (yang nantinya akan menjadi orang-orang luar biasa) bahwa TM 1 PAS-Q V sangat jauh dari label “perisai ke-2” itu. semua menjadi sangat bertolak belakang, mungkin karena ini baru permulaan tetapi bisa dibilang ini sangat menyenangkan. jika ditanya mengapa aku memilih masuk PAS-Q V, aku akan menjawab “ aku tidak tahu mengapa aku mengikutinya, aku hanya menikmatinya mulai hari ini sampai seterusnya”. alasan pendukung lain? karena mbak anti tentunya :D

TM 2, TM 3, TM 4 dan seterusnya … (maaf tidak bisa dijelaskan secara gamblang disini). hanya saja aku mulai merasa bahwa ini adalah hidupku, bagian dari hidupku yang tidak dapat terpisahkan dariku. karena menemukan orang-orang baru yang spektakuler, dan mulai menghabiskan waktu bersama mereka hampir setiap saat.
mulai tugas mencari tanda tangan, membuat buku yang sekreatif mungkin merupakan tugas yang cukup susah. masih ingat aku membuat bentuk bendera yang berkibar, bisa dibilang perlu pengorbanan yang cukup besar untuk membuatnya. sampai dibantu oleh ibuku. untuk mencari tanda tangan, aku selalu bersama agatha (orang yang menjadi alasan mengapa aku mengikuti paski dan benar-benar teman seperjuangan). mati-matian menghafalkan materi yang diberikan dan alhamdulillah aku bisa memenuhi jumlah tanda tangan yang diminta.

kemudian amanah mengadakan buka bersama PAS-Q V. disitulah mulai terlihat bahwa angkatan ku ini benar-benar luar biasa. mengadakan rapat, briefing, survey dan lain sebagainya yang membuat kami sadar bahwa kami adalah satu keluarga. satu kenangan indah adalah bahwa angkatanku berhasil mendatangkan “Cahyo Darodjati” (angkatan pertama PAS-Q V, sekaligus pendirinya) dan aku yang pertama kali berjabat tangan dengannya dan mempersilahkannya masuk. masih teringat betapa bahagianya aku saat itu. banyak kenangan pada saat buka bersama yang tidak akan terlupakan, dan disitulah kami mulai berpegangan, percaya satu sama lain yang pada saat itu aku mulai yakin bahwa kami akan terus membutuhkan satu sama lain.

setelah itu, aku benar-benar masih ingat bahwa aku selalu bersama mereka, angkatan ku dan kita mengurus segala sesuatunya. yang di tengah itu kita berusaha sekuat tenaga kita untuk menjadi seorang junior, berusaha menjadi Angkatan 17 PAS-Q V. latihan PBB setelah pulang sekolah, berkumpul membicarakan tugas-tugas kita selanjutnya yang meskipun jujur aku harus katakan itu berat tetapi ada kalian yang bersama-sama menjalaninya, ada kalian yang bisa meringankan beban satu sama lain (sampai-sampai kita mempunyai markas tempat kita berkumpul). dari situ aku mulai mengenal pribadi angkatan ku yang bermacam-macam, dan mereka semua itu HEBAT.

DIKLAT PAS-Q V

kata smalane : “seperti pena, bahkan jauh lebih parah”, “isinya dimarahi, disuruh ini itu, dsb”. dan kata calon angkatan 17 : “oh, ya?” dan kita sama sekali tidak menggubrisnya. ya, sama sekali tidak digubris dan kita dengan sangat semangat menyiapkan segala sesuatu untuk diklat. karena, di saat ada yang ragu, selalu ada yang meyakinkan bahwa kita pasti bisa melewatinya, dan karena kita sudah melewati ini semua, apakah kita harus menyerah karena isu dan omongan seperti itu? Tentu jawabannya TIDAK.
Kami, calon angkatan 17 PAS-Q V mengikuti diklat. (maaf tidak bias dijelaskan lebih lanjut).

hmm, ya aku sukses mengikuti diklat, aku dan angkatanku. menurutku, hasil terindah dari diklat ini adalah kenangannya dan apa yang dihasilkan. terbentuklah orang-orang ini, orang-orang yang pada akhirnya akan terus ada di hidupku selamanya, orang-orang yang aku kenal luar biasa hebatnya, yang tidak pantang menyerah, yang akan mejadi orang-orang sukses nantinya, yang pandai ber-argumen, yang kuat fisik dan mentalnya, yang penuh canda tawa, yang saling menghargai, yang terkadang egois, yang masih kekanak-kanakan, yang benar-benar tidak akan kulupakan seumur hidupku. :: lora dewi, rizky mardalita, pramita kusuma, hernalia martadila, nafilah aziziyah, himawan ramadhan, wicaksono indra, annisa pratama, adinda smaradhana, riztry bonita, rr. agatha rhana, ratih kumala, i made ary, hidayah, bima adhi, ni ketut, azwar tilameo, atiya nurrahmah, devita swadani, retno ayu, nia sovianita, nisful lail, ramadhana arwin, m. alif timur, rahmadiani widjayanti, akbar dharmawan, ainul firdatun ::

orang-orang ini yang selalu ada di hidupku sekarang, karena PAS-Q V benar-benar jadi bagian dari hidupku dan sama sekali tidak ada keraguan di dalamnya. tidak peduli apa yang dikatakan orang mengenai PAS-Q V karena yang tahu sebenarnya adalah anggota PAS-Q V. jadi aku sama sekali sudah tidak akan terpengaruh ucapan orang lain, karena ke 27 orang yang namanya kusebutkan di atas adalah yang membuatku benar-benar yakin.

kehidupan setelah menjadi Angkatan 17 PAS-Q V benar-benar luar biasa. latihan rutin setiap sabtu dan latihan untuk Upacara pada hari senin, benar-benar menyenangkan. tidak akan kulupakan bagaimana panggilan anak-anak terhadap ku “hee kecil”, “hee pendek” dsb, ketika aku melatih suara dengan ary yang notabene punya suara ala danton dan PU, ketika aku memberi perintah “luruskan” dengan kanan dan kiri ku adalah ary dan wicak (dan mereka meninju kepalaku), ketika aku melihat sovi atiya dan aya kala itu menjadi PT, ketika rani ary dan wicak latihan pengibaran bendera dengan harus naik dan turun panggung, ketika mendengar suara audit yang melengking karena kehabisan suara, ketika panik karena tiba-tiba melihat baju bima yang tiba-tiba tertarik keluar dan kenangan terakhir ketika melihat ary yang juga secara tiba-tiba tidak kuat mengikuti upacara.

mengikuti lomba PASKI juga sudah tidak asing bagi ku dan angkatanku. lomba pertama adalah KIBAR, yang menurutku tidak berjalan dengan sukses. kami sempat down. tetapi itulah kami, yang akan bangkit dan saling meyakinkan bahwa ini sudah berlalu dan kami akan memperbaikinya di kesempatan lain. ya, itulah kami. kemudian lomba PPI, yang kita masih belum juga sukses. dan sekali lagi, ya, kami bangkit. dan lomba SIAP yang alhamdulillah juara umum dan juara 1 squash. kenangannya? sangat teramat banyak.

tidak akan kulupakan bagaimana perjuangan pada saat KIBAR, sempat latihan di kala hujan, dituntut untuk membikin yel-yel dan bergoyang sok “aduhai”, pada hari-H tidak sukses, untuk pertama kalinya melihat wajah audit yang seperti setan.

perjuangan pada saat lomba PPI, ramai-ramai cari sepatu di praban, memakai harnet dan itu susah sekali, menjemur baju seragam di koridor SBI, dan lomba pada saat hujan. (kenangan pada saat PPI terlalu berharga untuk diceritakan, karena sangat sulit dikatakan)

di SIAP, tidak akan kulupakan bagaimana kita sempat putus asa karena belum siap, tetapi itulah kami, yang kemudian kembali dan bangkit, yang latihan tak kenal lelah, bahkan aku melihat tetesan keringat ketika wicak mengibarkan bendera, dan masih terdengar sampai sekarang teriak kegembiraan saat kami mendengar bahwa kami menjadi Juara Umum SIAP 2009, masih teringat senyum di wajah mbak mas kami ketika mengucapkan selamat dan kami mulai dihargai setelah itu.

ya, itulah aku, angkatan ku dan segala kenangan di dalamnya yang akan kamu rasakan ketika kamu di PAS-Q V. aku merasa, hanya disini aku dapat merasakan kebersamaan dan kekeluargaan yang luar biasa hebatnya. ketika aku merasakan bahwa aku pernah dalam 1 hari merasakan panas matahari yang benar-benar panas dan kami pada waktu itu latihan PBB, kemudian kami kehujanan, benar-benar kehujanan basah kuyup dan menggigil kedinginan (pada waktu lomba PPI), alas tikar yang tadinya kami gunakan untuk duduk, kami angkat dan kami berteduh di bawahnya sambil berjalan menuju ke smala. bahkan kami pernah menangis bersama, menangis karena kelelahan, menangis karena kami jenuh, menangis karena kami kehilangan beberapa orang yang seharusnya menjadi bagian dari angkatan kami, menangis karena sangat bahagia, pernah juga kami menangis di kala hujan. pernah kami push up bersama di kala hujan, di kala panas, dan itu semua kami lakukan bersama.

jujur, aku tidak akan menemukan keadaan seperti itu kalau tidak disini. Di PAS-Q V. banyak kenangan disini, pelajaran untuk hidup, pelajaran untuk bertahan, untuk menilai semua hal dari sisi positifnya, untuk loyal, untuk mencurahkan semu totalitas kalian disini, dan untuk menemukan orang-orang yang luar biasa hebat seperti yang aku punya sekarang :D

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS